Cahaya, sebuah sinar terang yang selalu ada di sekitar kita. Entah
itu cahaya matahari, cahaya bulan, maupun cahaya lampu pijar. Cahaya
begitu penting bagi semua orang. Karena tanpa cahaya, dunia akan terasa
gelap dan tak akan ada lagi semangat untuk meneruskan hidup! Begitupun
akuAku hidup untuk menggapai cahaya
Cahaya, sebuah sinar terang yang selalu ada di sekitar kita. Entah
itu cahaya matahari, cahaya bulan, maupun cahaya lampu pijar. Cahaya
begitu penting bagi semua orang. Karena tanpa cahaya, dunia akan terasa
gelap dan tak akan ada lagi semangat untuk meneruskan hidup! Begitupun
aku. Aku hidup untuk menggapai cahaya terang di tengah temaramnya cahaya
semangat. Seolah energi yang kupunya hampir punah saat ini. Tapi, aku
tak ingin semangatku mati tanpa menemuinya dan memberitahunya betapa aku
merindukannya…
“kamu akan pergi berapa lama, Ger?”
Aku terus bertanya hal yang sama di hari-hari menjelang dia akan pergi
ke Swiss untuk urusan pekerjaannya. Tapi ia sama sekali tak
menggubrisku. “Ayolah Ger, beritahu aku” aku tak mengerti mengapa ia tak
pernah menjawabnya. Aku hanya bertanya ‘berapa lama dia akan
meninggalkanku’ apa aku salah bertanya seperti itu, jika mengingat bahwa
saat itu aku adalah kekasihnya.
Hari itu pun tiba. Rasanya aku ingin menangis di dekapannya untuk
yang terakhir kalinya sebelum pergi meninggalkanku dalam waktu entah
berapa lama.
“Ger, kamu serius gak mau kasih tau aku kapan kamu balik lagi ke Indonesia?” tanyaku lagi.
“Liona sayang, aku pun tak tahu kapan aku kembali. Tapi yang perlu kamu
tahu kalau aku mencintaimu. Aku akan kembali untukmu. Bersamamu..”
“Tapi, Ger..”
“Liona, jarak gak mungkin memisahkan kita. Dan saat aku kembali, aku akan menikahimu sehari sesudahnya”
“Kamu gila. Bagaimana mungkin aku akan siap?”
“Aku gak perlu persiapan apapun dari kamu”
“Bagaimana bisa, Ger. Gimana kalau saat kamu kembali, aku berpaling?”
“Aku tahu kamu, Liona.”
Saat selesai berkata demikian, Gerry mendekap tubuhku. Dia juga
mencium puncak kepalaku dalam dekapannya. Entah mengapa, aku begitu
takut sekali saat itu.
Hari demi hari, bulan demi bulan. Dan terus berlanjut selama hampir 3
tahun lamanya. Aku merasa lelah. Aku lelah menunggu yang tak pasti.
‘Kejam sekali kau, Gerry. Aku kekasihmu tapi tak sedikitpun kau
memberitahu kabarmu padaku secara langsung’ gumamku saat cahaya senja
telah memberi kesan indah dan eksotis di pantai kuta ini.
“Liona, come on, kamu gak bisa terus-terusan kayak gini, Li” ucap seorang sahabatku, Arin.
“Aku percaya Gerry, Rin”
“Bagaimana bisa? Bahkan sudah 3 tahun sejak dia meninggalkanmu, dia
bahkan tak pernah mencoba menghubungimu. Hanya berlembar-lembar surat.
Kamu bahkan tak akan pernah tahu bagaimana suaranya saat mengucapkan
kata-kata dari isi surat itu?” cercananya
Ah iya, Arin memang tak begitu menyukai Gerry. Jadi ku rasa mengucapkan hal seperti itu sangatlah mudah untuknya.
“Liona..” panggilnya. Nada keputus asaan terdengar jelas saat dia mengucapkan namaku.
Seperti biasa, aku selalu menunggu kedatangan surat yang dituliskan
Gerry untukku. Biasanya, akan ada surat di dalam kotak surat di depan
rumahku saat pergantian bulan di kalender. Tapi sampai sekarang, aku tak
menemui selembar surat pun di dalam sana.
Jantungku berdetak lebih cepat sekarang. Aku tak tahu mengapa. Dan kuputuskan untuk berhenti mengharapkannya…
“Kamu kenapa jadi begini, sih, Liona?” cemas Arin. Kulihat di sudut
matanya ada setitik cairan bening tergantung di ujung pelupuknya sebelum
akhirnya terjatuh dari pelatarannya.
Kini sudah hampir menginjak tahun ke 4 semenjak Gerry meninggalkanku.
Dan sudah setahun ini dia tak memberi kabar. Aku semakin lelah. Cahaya
harapanku kini hampir memudar. Tapi aku masih menyisakan kerinduanku
untuknya. ‘Oh Gerry kemana kabarmu belakangan ini?’
Hari itu suara dering handphone memecahkan lamunanku. Sebuah nomor
tak bernama menelponku berkali-kali. Dan saat aku mengangkatnya,
terdengar jelas suara Gerry di seberang sana menanyakan kabarku. Hatiku
terlonjak senang saat mengetahui bahwa dia akan pulang karena
pekerjaannya telah selesai disana.
Hari itu, tak seperti biasanya. Arin yang biasanya tak menyukai Gerry
seketika memberikan tawaran untuk mengantarkanku menjemput Gerry di
bandara. “Serius, Rin kamu mau?” tanyaku tak percaya.
“aku hanya tak ingin membiarkanmu sendiri kesana dengan keadaanmu yang seperti ini, Liona”
“Ayolah, Rin. I’m fine kok”
Tak biasanya jalanan kota Bali di hari liburan seperti ini lumayan
sepi. Sehingga mempercepat laju kendaraan kami. Tapi aku merasa tubuhku
semakin lemah. Dan seketika menjadi gelap!!
“Liona, sayang, bangun dong. Ini aku, Gerry. Aku ingin melihat matamu
yang indah…” aku mendengar suara yang kurindukan. Kurasa telapak
tanganku hangat dan basah saat ini. Tuhan, kenapa mataku begitu berat?
Aku juga ingin melihat mata coklatnya Tuhan… resahku dalam hati.
“Ini semua gara-gara kamu, Ger. Dari awal aku gak suka kamu dekati
Liona. Dan gara-gara kamu gak ngasih Liona kabar setahun terakhir ini,
Liona jadi kehilangan semangat hidupnya. Apasih susahnya kamu ngasih
kabar? Emangnya di Swiss sana gak ada alat komunikasi bahkan kertas yang
kau gunakan untuk menulis surat kehabisan dan tak tersisa satu pun?”
Kini kudengar suara Arin yang terlihat sangat marah. Oh Rin, kenapa
kamu harus memarahi Gerry? Lebih baik aku yang kau marahi daripada
Gerry.
Kini kukerahkan semua tenagaku. Aku tak ingin mendengar lebih banyak
lagi. Aku ingin giliran mereka yang mendengarkan suaraku. Kukumpulkan
segenap tenaga yang tersisa walau hanya untuk membuka mata. Dan
akhirnya..
“Gerry.. Arin..” ucapku lemah.
“Liona!!” ucap mereka bersamaan.
“Hey, kamu cantik banget. Mata dan wajah kamu tak banyak perubahan. Justru semakin cantik bagiku”
“berhenti menggombaliku, Ger. Kau tak berubah. Masih seperti yang dulu”
ucapku dengan suara yang terdengar lemah dan semakin pelan.
“Sesuai janjiku, aku akan menikahimu besok, Liona”
“Jangan gila kau, Ger!! Lihat keadaan Liona, apa menurutmu dia bisa menikah dalam keadaannya yang seperti ini?” amarah Arin
“Aku mencintainya, Rin. Aku mohon kamu bersedia menjadi walinya, karena Liona hanya mempunyaimu”
Arin tak menjawab permintaan Gerry. Dia hanya melihatku dan menatapku
dalam hening. Cairan bening pun kini menetes dari 3 pasang mata saat
ini.
“Gerry, sungguh aku tak ingin menagih janjimu. Melihatmu berada di
sampingku saat ini, itu sudah cukup bagiku. Cukup untuk menghilangkan
segala kerinduanku selama 4 tahun ini, Ger. Dan untuk Arin, aku sangat
menyanyangimu. Terima kasih telah ingin bersamaku selama hampir 6 tahun
kita bersahabat. Terimakasih telah memberiku kasih sayang yang tak
pernah kudapat semenjak aku kehilangan semua keluargaku. Aku menyanyangi
kalian…”
Saat menyelesaikan kata-kata yang begitu panjangnya, tiba-tiba saja
nafasku tak dapat berhembus dan cahaya mulai meredup. Satu yang tak akan
ku sesali saat sebelum cahayaku menghilang, aku memiliki dua orang yang
selalu menyanyangiku. Memiliki seorang pria yang mencintaiku dan
sahabat yang sudah kuanggap sebagai kakak. Kini cahaya tinggal bias dan
habis seiring berhembusnya udara…
The End
Cerpen Karangan: Selvy Oktavia
Facebook: Https://www.facebook.com/saiiasiieilhamfeversielvhiioktavia